Tuesday, 3 March 2015

Di Suruh Makan Mau Di Suruh Megang Nanti Dulu



A

ku lahir 12 tahun lalu. Tinggi tubuh ku 128 cm. Aku mempunyai mata hitam yang sipit bagai mata kucing. Warna kulit ku sawo matang dan aku berjilbab. Sinarsang surya begitu sangat terik,udara panas menyelimuti bumi. Suara kambing yang bersahutan seakan tak tahan dengan kondisi tersebut.
            Jam dinding di gubuk sederhana milik orang tua ku menunjukan pukul 13.15 WIB. Rasa ngantuk mencoba menggoda ku untuk tidak pergi ke TPQ . Tapi pergi ke TPQ adalah kewajiban ku, sebab di sanalah istana  tempat  ku menimba ilmu agama. Keadaan ku saat itu bagai buah si malakama. Akhirnya, ku mantabkan hati untuk pergi ke TPQ.  Pergilah aku dengan langkah lesu.
            Langkah lesu telah menghantarkan ku hingga setengah perjalanan menuju TPQ. Mulut ku mengucap lafadz-lafadz hadits yang di tugaskan untuk di hafalkan. Sedang mata “kucing” ku memandang sekeliling. Di  tepi jalan ku lihat buah seri merah yang menggoda ku untuk memetiknya. Ku hampiri pohon buah mungil itu.
            Pohon itu tidak terlalu besar. Sebagian ranting pohonya telah patah. Mungkin karena usianya yang sudah mulai menua atau bisa pula karena usaha manusia untuk mendapatkan buahnya . Puluhan daun kering bersebaran di permukaan tanah laksana bintang di malam hari. Kicauan induk burung yang singgah di atas pohon menyambut kedatangan ku. Dua buah bola mata ku bergerilya pada tiap bagian pohon. Berharap ada buah yang siap masuk dalam mulut ku ini. Satu, dua, tiga buah-buah merah yang mungil itu terkumpul di tangan ku.
            Mata ku terus mentap ke atas. Karena terlalu fokus berburu buah seri, “krek”,tak sengaja kaki kanan ku menginjak sesuatu.Dari  suaranya tampak seperti ranting pohon yang patah atau sisa tulang ayam yang terinjak. Tanpa di komando  rasa ingin tahu ku muncul . Ku turunkan penglihatan ku ke bawah. Ternyata yang beradadi bawah kaki kanan ku adalah anak burung yang belum berbulu. Dengan secepat kilat ku angkat kaki ku.  Ku pandang anak burung malang itu dengan rasa takut. Keadaanya bagaikan sepercik cahaya dalam kegelapan. Dengan di temani rasa takut dan kasihan aku berlalu dari tempat itu. Ku lanjutkan perjalanan ke TPQ. Di sana fikiran ku melayang mengingat nasib burung kecil.
            Hari demi hari berlalu. Kejadian di bawah pohon buah seri masih tergambar jelas dalam memori otak ku. Rasa takut ku juga terus tumbuh terhadap burung, bahkan terhadap hewan satu familinya. Aku takut saudara burung itu akan balas dendam padaku.
            Suatu hari, butir-butir air keringat membasahi tubuh ku. Haus dan lapar juga menjajah ku. Hasrat untuk merebahkan badan di kasur juga mengggebu. Wajar hal itu aku rasakan, sebab saat itu aku baru saja pulang menimba ilmu. Ku letakan tas di meja belajar. Seragam yang tadi menempel di badan ku kini telah berganti menjadi kaos biasa. Ku arahkan langkah kaki menuju dapur.
            Minyak berlebih di pipi ku ini bagai pia-pia yang baru saja di angkatkan dari penggorengan. Risih rasanya. Aku pun pergi ke kamar mandi sebelum makan. Antara dapur dan kamar mandi di pisahkan oleh sebuah pintu. Dimana di depan pintu itu adalah pintu belakang. Pintu belakang  tidak dapat di tutup sempurna. Aku membuka pintu pemisah antara dapur dan kamar mandi dengan santai. Tetapi saat aku menjatuhkan langkah kaki kanan ku, aku merasa menginjak sesuatu yang berdaging dan bersuara. Ku alihkan pandangan ku ke bawah dan ternyata benda aneh itu adalah anak ayam. Dengan cepat aku berlari lewat pintu belakang. “ Ya Allah aku menyakiti binatang lagi!! Maaf ayam..maaf” Rasa takut dan menyesal segera berkobar dalam jiwa ku. ”Di rumah sepi, cari bantuan kemana?!” fikir ku sambil berlari. Larian ku berlabuh di gubuk milik tante yang berada di sebelah kanan gubuk orang tua ku.
            Di sana ada dua wanita. Memakai jilbab, berkulit putih dan tingginya kira-kira 150 cm. Dia adalah tante ku. Di samping tante ku ada  wanita kurus tinggi, berkulit sawo matang,matanya bulat hitam dan berambut keriting. Dia adalah adik keponakan ku. Aku pun meminta bantuan kepada tante dan adik keponakan ku. Kami bertiga pun berjalan menuju rumah ku. Tante dan adik mengecek keadaan ayam kecil sedang aku masuk kamar.
               “Anak ayamnya mati, tadi lagi sakit tu ayam” kata tante dari luar rumah
               “Te, jangan nakut-nakutin dong” rengek ku ketakutan
Saat itu aku menghadap jendela yang sedang terbuka. Tiba-tiba anak ayam yang mati tadi di tunjukan oleh adik keponakan ku lewat balik jendela. Aku pun berteriak histeris.
              “Nah loo…anak ayamnya mati. Anak ayam kog di injek” ledek adik ku sambil tertawa
              “Udah deh jangan ngeledek. Cepet kubur anak ayamnya!” perintahku
Sejak saat itu aku lebih takut dengan ayam dan aku pun jadi korban kejahilan tetanggaku yang menakut-nakuti ku menggunakan anak ayam. Kejadian itu tidak membuat ku takut makan daging ayam, tetapi aku takut kalau di suruh mendekat apalagi  di suruh megang hewan yang bernama ayam.

No comments:

Post a Comment