|
A
|
ku lahir 12
tahun lalu. Tinggi tubuh ku 128 cm. Aku mempunyai mata hitam yang sipit bagai
mata kucing. Warna kulit ku sawo matang dan aku berjilbab. Sinarsang surya
begitu sangat terik,udara panas menyelimuti bumi. Suara kambing yang bersahutan
seakan tak tahan dengan kondisi tersebut.
Jam dinding di gubuk sederhana milik
orang tua ku menunjukan pukul 13.15 WIB. Rasa ngantuk mencoba menggoda ku untuk
tidak pergi ke TPQ . Tapi pergi ke TPQ adalah kewajiban ku, sebab di sanalah istana tempat
ku menimba ilmu agama. Keadaan ku saat itu bagai buah si malakama.
Akhirnya, ku mantabkan hati untuk pergi ke TPQ.
Pergilah aku dengan langkah lesu.
Langkah lesu telah menghantarkan ku
hingga setengah perjalanan menuju TPQ. Mulut ku mengucap lafadz-lafadz hadits
yang di tugaskan untuk di hafalkan. Sedang mata “kucing” ku memandang
sekeliling. Di tepi jalan ku lihat buah
seri merah yang menggoda ku untuk memetiknya. Ku hampiri pohon buah mungil itu.
Pohon itu tidak terlalu besar.
Sebagian ranting pohonya telah patah. Mungkin karena usianya yang sudah mulai
menua atau bisa pula karena usaha manusia untuk mendapatkan buahnya . Puluhan
daun kering bersebaran di permukaan tanah laksana bintang di malam hari.
Kicauan induk burung yang singgah di atas pohon menyambut kedatangan ku. Dua
buah bola mata ku bergerilya pada tiap bagian pohon. Berharap ada buah yang
siap masuk dalam mulut ku ini. Satu, dua, tiga buah-buah merah yang mungil itu
terkumpul di tangan ku.
Mata ku terus mentap ke atas. Karena
terlalu fokus berburu buah seri, “krek”,tak sengaja kaki kanan ku menginjak
sesuatu.Dari suaranya tampak seperti
ranting pohon yang patah atau sisa tulang ayam yang terinjak. Tanpa di komando rasa ingin tahu ku muncul . Ku turunkan
penglihatan ku ke bawah. Ternyata yang beradadi bawah kaki kanan ku adalah anak
burung yang belum berbulu. Dengan secepat kilat ku angkat kaki ku. Ku pandang anak burung malang itu dengan rasa
takut. Keadaanya bagaikan sepercik cahaya dalam kegelapan. Dengan di temani
rasa takut dan kasihan aku berlalu dari tempat itu. Ku lanjutkan perjalanan ke
TPQ. Di sana fikiran ku melayang mengingat nasib burung kecil.
Hari demi hari berlalu. Kejadian di
bawah pohon buah seri masih tergambar jelas dalam memori otak ku. Rasa takut ku
juga terus tumbuh terhadap burung, bahkan terhadap hewan satu familinya. Aku
takut saudara burung itu akan balas dendam padaku.
Suatu hari, butir-butir air keringat
membasahi tubuh ku. Haus dan lapar juga menjajah ku. Hasrat untuk merebahkan
badan di kasur juga mengggebu. Wajar hal itu aku rasakan, sebab saat itu aku
baru saja pulang menimba ilmu. Ku letakan tas di meja belajar. Seragam yang
tadi menempel di badan ku kini telah berganti menjadi kaos biasa. Ku arahkan
langkah kaki menuju dapur.
Minyak berlebih di pipi ku ini bagai
pia-pia yang baru saja di angkatkan dari penggorengan. Risih rasanya. Aku pun
pergi ke kamar mandi sebelum makan. Antara dapur dan kamar mandi di pisahkan
oleh sebuah pintu. Dimana di depan pintu itu adalah pintu belakang. Pintu
belakang tidak dapat di tutup sempurna.
Aku membuka pintu pemisah antara dapur dan kamar mandi dengan santai. Tetapi
saat aku menjatuhkan langkah kaki kanan ku, aku merasa menginjak sesuatu yang
berdaging dan bersuara. Ku alihkan pandangan ku ke bawah dan ternyata benda
aneh itu adalah anak ayam. Dengan cepat aku berlari lewat pintu belakang. “ Ya
Allah aku menyakiti binatang lagi!! Maaf ayam..maaf” Rasa takut dan menyesal
segera berkobar dalam jiwa ku. ”Di rumah sepi, cari bantuan kemana?!” fikir ku
sambil berlari. Larian ku berlabuh di gubuk milik tante yang berada di sebelah
kanan gubuk orang tua ku.
Di sana ada dua wanita. Memakai
jilbab, berkulit putih dan tingginya kira-kira 150 cm. Dia adalah tante ku. Di
samping tante ku ada wanita kurus
tinggi, berkulit sawo matang,matanya bulat hitam dan berambut keriting. Dia
adalah adik keponakan ku. Aku pun meminta bantuan kepada tante dan adik
keponakan ku. Kami bertiga pun berjalan menuju rumah ku. Tante dan adik
mengecek keadaan ayam kecil sedang aku masuk kamar.
“Anak ayamnya mati, tadi lagi sakit tu ayam” kata tante dari luar rumah
“Te, jangan nakut-nakutin dong” rengek ku ketakutan
Saat itu aku
menghadap jendela yang sedang terbuka. Tiba-tiba anak ayam yang mati tadi di
tunjukan oleh adik keponakan ku lewat balik jendela. Aku pun berteriak
histeris.
“Nah loo…anak ayamnya mati. Anak ayam kog di injek” ledek adik ku sambil
tertawa
“Udah deh jangan ngeledek. Cepet kubur anak ayamnya!” perintahku
Sejak saat
itu aku lebih takut dengan ayam dan aku pun jadi korban kejahilan tetanggaku
yang menakut-nakuti ku menggunakan anak ayam. Kejadian itu tidak membuat ku
takut makan daging ayam, tetapi aku takut kalau di suruh mendekat apalagi di suruh megang hewan yang bernama ayam.